PEDULI


EMPATI


on Tuesday, 21 September 2010 at 21:18
  
Bumi yang bersahabat
tak segan kini melumat
menerjang menjadi mayat.

air yang memberi makmur
berubah ganas melebur
tenggelam wadag hingga lumpur.

siapa salah, siapa bersalah
tak baik sekedar menuduh.

merubah pikir mengolah rasa
diri dalam mengkaji hidup kan
kasih mendekap sayang.

jadi lah manusia.

092110
18:45
Semua kita mengenal kata sakit. Tetapi apakah semua orang pernah merasa sakit dan mampu bahkan bisa berempati terhadap rasa sakit?

Perasaan itulah yang sulit saya rumuskan petang itu. Saya tengah berada di suatu tempat. Dengan di sekitar terlihat para pekerja kantoran yang memilih membaringkan penat dengan menonton pertunjukan teater selepas kerja.

ketika kekasih hadir menyodorkan dua tiket pemutaran perdana film “Bunga dan Tembok” di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail tempo itu.

Sejenak saya bimbang. Tidakkah pementasan “Lovers and Liars” lebih menggoda? Posternya yang terang menempel di hampir setiap sudut kota. Preview-nya diulas berbagai media.

Terlebih lagi, Balai Sarbini gedung pertunjukan yang konon memenuhi standar internasional digunakan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari sebelumnya diresmikan presiden. Tidakkah memancing penasaran?

Tetapi toh saya memutuskan meninggalkan tempat yang juga dihadiri banyak tubuh wangi selebriti itu. Semata karena alasan: tiket tersebut hanya berlaku saat itu juga.

Dan, di tempat itulah kami malam tersebut. Di sebuah tempat yang ‘asing’ dan 'perih'.

Apa yang terbersit di hatimu ketika menatap gambar buram kesaksian dan luka para korban peristiwa 1965 – peristiwa pembunuhan massal yang tidak menjadi ingatan sosial; kecuali bahwa ia telah merenggut nyawa tujuh perwira militer di Lubang Buaya sebagaimana yang ditulis dalam buku-buku sejarah sebelum engkau lahir?

Dengan cara apa engkau berempati kepada rasa sakit korban yang pada sebuah masa pernah berdiri berseberangan sebagai ‘musuh’ menurut penguasa? hanya karena engkau demikian terpesona pada sebuah film bertajuk “Pengkhianatan G30S/PKI”?

Alangkah absurd. Seperti gelap warna yang samar pada cahaya keremangan. Membuat terasing. Mungkin juga bagi Anda, yang setiap hari duduk di balik etalase megah gedung-gedung bertingkat.

Yang senantiasa memerangkap diri dalam transaksi dan kalkulasi untung-rugi. Yang bergegas di bawah kecemasan hanya karena merasa waktu tidak pernah berhenti sejenak sekadar untuk menunggu Anda menyelaraskan langkah.

Yang berpikir keras 24 jam terus-menerus untuk menentukan langkah ekspansi yang paling menguntungkan usaha Anda. Yang menghabiskan waktu-waktu istirah di corner sebuah lounge atau di tengah lapangan golf.

Bagaimana membangun jembatan empati antara sisi gelap sejarah tersebut dengan dunia wangi Anda yang terang-benderang? “Mungkin dengan cara mendengarkan, dengan hadir di antara mereka,” kata kekasih.

Ia ingin mengatakan bahwa kami bisa berupaya memahami rasa sakit dan luka dari orang-orang yang pernah dibungkam dan dilenyapkan itu, dengan menonton kesaksian mereka.

Empati mungkin tidak cukup ditumbuhkan dalam semalam seperti ketika Bandung Bondowoso menyelesaikan seribu candi bagi Loro Jongrang. Tapi setidaknya, saya pulang dengan ingatan – yang meski buram tapi berbayang. Sebuah ingatan untuk terus mencoba menumbuhkan keinginan menyimak sejarah guna menguak lebih gamblang tragedi kemanusiaan di masa lalu itu.

Saat ini, empati memang telah menjadi barang yang sangat langka di negeri ini. Ketika Rehat ini saya tulis, berapa tahun lalu dan mengulang kembali, saya baru saja mengunjungi seorang sahabat yang terbaring di rumah sakit akibat penyakit yang banyak terjadi di kota-kota besar umumnya Komplikasi pelbagai rasa sakit penyakit.

Meski pucat dan lemah, ia masih melempar senyum cerah. Bahkan bercanda. “Gini-gini, saya ikut andil lho membuat presiden terkejut!”

Saya tersenyum mendengarnya, sekaligus merasa miris. Saya ingin menyatakan bahwa banyak petinggi di negeri ini termasuk petinggi-petinggi perusahaan, yang bahkan untuk terkejut pun sulit apalagi takjub kepada suatu peristiwa. Begitu banyak kedataran olah rasa yang tiada lagi membentuk sejatinya perasaan manusia.

Lihat ratusan korban penyakit akibat virus, bakteri, bencana berjatuhan, dan kita belum banyak mendengar adanya penggalangan solidaritas sosial dari dunia usaha yang bertujuan untuk membantu meringankan beban penderita.

Meski yang terbaring di lorong-lorong rumah sakit itu, yang barangkali diintip oleh maut, sebagian adalah karyawan atau keluarga karyawan mereka sendiri.

Ya, semua orang mengenal kata sakit. Tapi apakah semua orang pernah merasa sakit dan bisa berempati terhadap rasa sakit?
Belum tentu.

Jika yang terpampang di depan mata saja yang nyaris tiap hari menjadi sarapan pagi kita sulit menumbuhkan empati, apalagi yang sekadar terbaca di buku sejarah, sesuatu yang asing, manuskrip bisu yang tersimpan dalam laci?

Lagipula, bukankah tidak semua orang dan usahawan berpendapat bahwa empati dan solidaritas sosial memiliki korelasi langsung dengan kinerja bisnis perusahaan?

Empati adalah fondasi dari semua interaksi hubungan antar manusia. Mampu merasakan kondisi emosional orang lain, maka kita bisa membina relationship yang akrab dengan orang lain.

seseorang. Menurut Lawrence E. Shapiro, Ph.D., secara naluriah seseorang sudah mengembangkan empati sejak ia bayi. Awalnya empati yang dimiliki sangat sederhana, yakni empati emosi. Misalnya pada usia 0-1 tahun, bayi bisa menangis hanya karena mendengar bayi lain menangis. Barulah di usia 1-2 tahun, anak menyadari kalau kesusahan temannya bukanlah kesusahan yang mesti ditanggung sendiri.

Misalnya saja mungkin yang terjadi pada diri saya atau anda pada waktu mengikuti suatu diskusi,atau kuliah, atau pelajaran disekolah.

kita mungkin sering mengabaikan sang pembicara dengan pelbagai alasan masing-masing yang menerangkan suatu mata kuliah, materi atau pelajaran tertentu dan asyik ngobrol dengan teman di sebelah kita karena mungkin kita merasa tidak mengerti apa yang dijelaskannya.

Tapi, pernahkah kita berpikir bagaimana ya kalau kita menjadi sang pembicara dan semua audience asik dan ramai sendiri.

Bagaimana perasaan kita?

Tidak mudah memang bagi kita untuk memiliki 'empati' tersebut, dimana kebanyakan dari kita selalu mempertanyakan (UBSA) “UNTUNG BUAT SAYA APA?” atau kita sudah berpikir “Underestimate” orang lain karena kita merasa tidak butuh orang tersebut, “WHO CARE?” karena kebanyakan manusia memiliki sifat egois yang luar biasa.

Terus kapan kita bisa menumbuhkan Empati itu?

Empati beda dengan simpati. Simpati bisa dikatakan sebagai perasaan peduli dengan perasaan orang lain tapi simpati tidak sedalam empati. Dengan simpati kita belum dikatakan bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Contoh : saat melihat rekan sedang limbung bisnisnya kita bersimpati dengan menunjukkan kepedulian menanyakan alasan kebangkrutannya tapi kita belum bisa sepenuhnya merasakan kepedihannya.

Atau ketika terjadi bencana kita bersimpati dengan menyatakan kesedihan namun akan menjadi empati sesungguhnya ketika kita tidak merayakan tahun baru dengan glamour dan foya-foya contohnya, karena kita benar-benar berusaha memahami perasaan saudara-saudara kita yang sedang terkena bencana. Akan lebih baik lagi jika kita melakukan kerja nyata dalam memberikan bantuan.

Empati bahkan lebih powerfull jika kita pernah mengalami kejadian yang sama atau minimal orang terdekat dengan kita. Contoh kita berempati dengan korban banjir karena orang tua atau rekan dekat pernah mengalami dan kita ikut dalam penangannya. Walau begitu empati tidak harus pernah kita alami sendiri.

Kekasih mengatakan kepada saya,  Empati adalah "memahami dan memasuki perasaan orang lain" [understanding and entering into another's feelings], empati bukanlah "perasaan", bukan semacam kata benda. empati adalah sikap sekaligus kerja, yang terkait dengan perasaan, yang tidak mungkin seketika. sulit sekali menumbuhkan empati.

Masih banyak orang yang melihat peristiwa sebagai sebuah potret, yang lebih dahsyat dari 1000 kata, namun potret itu hanya dipandang dari satu sisi, "aku" yang sedang melihat.

Sayangnya, penilaian [assessment] ini sering berasal dari "product berfikir" milik orang lain. misalnya: "berilah santunan kepada yang memerlukan".

Sekalipun "mungkin" product berpikir itu bagus untuk dijalankan, namun, pada akhirnya sebuah tindakan yang didasarkan pada "adopsi" product orang lain, hanya akan menjadikan sebuah tindakan tidak lebih dari sekadar "mata uang".

Kita memakainya sebagai "alat pembayaran", kita menyantuni karena menurut orang banyak, menyantuni itu baik. moralitas "baik" menjadi berperingkat (seperti pecahan 5 ribu, 100 ribu, dst.) karena "nilai" dianggap sebagai nominal yang "given" (terberikan).

Empati justru lebih mengarah pada "understanding", "entering". itu terkait pada "rasa", pada "pengalaman" yang sekali lagi tidak sama dengan sekeping mata uang. nampaknya, merubah suatu struktur dan penalaran orang "melalui" empati, tidak hanya dilakukan sendirian.

Atau jangan-jangan, saya yang terlalu berlebihan seperti biasanya mengolah pikir?

Entahlah, sebab segala  semua empati atas rasa sakit atau sehat, kadang mampu menjadikan nikmat membawa saya lebur merasakan setiap arti kepada makna kemanusiaan betapa sudah banyak hal terlupakan oleh semua kita dan terjebak kepada propaganda kepentingan semata yang entah itu benar atau salah.

 *cinta datang dan pergi, sampai kapanpun itik tidak akan  menjadi angsa, sampai kapanpun cinta tak mungkin dipaksa, mungkin sudah saatnya cinta itu pergi, hingga jumpa pada waktu lain."

Salam
Cesi.Ces

Comments

Popular Posts