AKU HANYA SEBUTIR PELURU




Ya, aku hanya sebutir peluru yang melesat dari moncong senapan serdadu atau pemburu. Aku melesat dengan kecepatan angin, menembus udara dengan membawa bau maut. Aku bisa mencabut nyawa manusia dalam hitungan detik, apalagi bila aku berada dimoncong senapan seorang pemburu. Seorang penjahat yang paling beringas pun akan berpikir seribu kali kalau aku sudah mengarah ke dadanya.

    Kalau aku mau, aku bisa menghentikan nadi hidupmu. Memisahkanmu dengan orang-orang yang kau cintai. Aku memang pembawa maut yang tak punya nurani. Sudah tak terhitung manusia terkapar karena ulahku. Ingat, aku hanya menjalankan tugasku. Keberadaanku memang bergelimang darah. Ya, aku cuma sebutir peluru yang melesat dari moncong senapan serdadu atau pemilik senjata.

    Kurasa tiba waktunya bagi diriku untuk mengatur nasibku sendiri. Nasih sebutir peluru memang tak begitu penting bagimu. Namun siapakah yang akan peduli pada diriku kalau bukan aku?

    Aku sudah muak dengan bau kekerasan yang telanjur melekat pada diriku. Percikan darah, jerit kematian, dan tangis kesedihan sudah waktunya kutinggalkan. Itu hanyalah masa lalu yang tak begitu indah untuk dikenang.

    Meski aku cuma sebutir peluru, aku juga tak mau dikekang oleh masa lalu. Maka ketika serdadu itu melontarkan tubuhku, kemerdekaan akan nasibku pun tereguk. Aku sudah menancapkan niat untuk tidak membunuh orang. Tubuhku yang diarahkan ke tubuh mahasiswa-rakyat biasa-buruh itu meluncur dengan deras. Penuh dengan bau maut dan kematian yang kental.

    Kalau aku mau, buruh yang berkaus biru dengan tulisan "Agatha, hanya kau cintaku" akan segera terjengkang bermandi darah. Keluarganya, pacarnya akan berduka dan kehilangan. Agatha, apakah dia benar pacar buruh itu? Betapa pacarnya akan menangis meratap melihat aku menghajar tubuhnya.

    Namun, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menjadi dewa pencabut nyawa. Sengaja kukurangi kecepatan supaya gerak luncurku menjadi lambat. Supaya pandangan mereka menangkap kedatanganku. Kulihat dia dengan cepat menghindar.

    "Awas peluru!" dia berteriak kaget. Tak usah panik begitu, kawan. Aku sudah tidak memiliki nafsu membunuh.
    "Tiarap!"
    "Semua tiarap!"

    Aku mau tertawa. Aku hanya lewat kok. Ternyata buruh-buruh itu masih mencintai selembar nyawanya. Aku juga mau tertawa menyaksikan seorang buruh berambut gimbal keriting bertampang seniman malah terkencing-kencing di celana. Dalam perjuangan ternyata masih menyimpan ketakutan.

    "Aneh! Peluru itu meluncur lambat sekali," teriak salah seorang di antara mereka.
    Tak ada yang perlu dianggap aneh. Itu sudah menjadi kemauanku. Kutinggalkan arena demo yang masih hiruk pikuk dengan tuntutan kemerdekaan serta korupsi birokrasi yang tak pernah berhasil diperhatikan itu. Kutinggalkan bau sangit dan asap hitam ban yang dibakar di jalan. Kutinggalkan juga mahasiswa-rakyat-buruh dan polisi yang saling dorong. Apa yang mereka perebutkan?

    Bom molotov meledak memercikkan bunga api. Pagar kawat berduri ambruk dengan ditingkahi sorak penuh kemenangan. Kemenangan pada siapa? Sesama anak bangsa, tak perlu ada kemenangan atau kekalahan. Kekalahan dan kemenangan hanya mengundang rasa sakit.

    Dalam kecepatan lambat aku bisa leluasa menebarkan pandangan. Hidup jadi tidak terburu-buru hanya dengan satu tujuan: membunuh. Kalau nasib digariskan lain, tentu kau tak ingin menjadi sebutir peluru.

    Aku lebih suka menjadi setitik embun di pucuk daun di pagi hari atau menjadi lembut angin pagi yang bertiup sepoi menyegarkan sambil menerbangkan daun-daun kering. Atau menjadi pelangi yang membuat seorang anak kecil selalu merindukan kedatangannya. Atau menjadi deburan ombak kecil di bibir pantai sambil merangkul senja yang datang atau menjadi bulan purnama juga boleh. Hingga tubuhku kelihatan molek dengan balutan cahaya keperakan. Tentu saja elok sekali. Bukankah seorang ibu amat berharap agar anak gadisnya esok bisa secantik mentari?

    Aku melayang tenang dengan udara siang yang sebentar lagi akan tenggelam berganti dengan udara sore yang tidak begitu gerah. Kubiarkan angin membelai tubuhku. Membelai-belai kulitku. Amboi, betapa nikmatnya berayun-ayun, memantul-mantul diterbangkan angin seperti ini. Sambil menikmati biru langit tanpa segumpal awan pun. Sambil menatap gedung-gedung pencakar langit. Seperti apakah orang yang berdiam di dalamnya?

    "Cit‚cit‚cit," seekor burung gereja begitu gugup melihat aku lewat. Dengan mengembangkan sayap, dia melindungi anaknya. Aku tersenyum. Wajar kalau burung itu ketakutan. Melihat tampangku saja manusia sudah bergidik ngeri. Susah juga untuk membuang masa lalu. Aku harus memperbaiki imej itu mulai sekarang.

    Tubuhku menukik pelan. Aku ingin melihat anak-anak sekolah yang berolahraga sore hari. Oh, petandingan voli yang amat ramai. Anak-anak sekolah itu bersemangat sekali dalam bermain. Kalau tidak sedang tawuran, mereka menjadi manusia-manusia yang lumayan juga.

    Aku meluncur di atas kepala mereka.
    "Peluru nyasar!"

    "Hati-hati!"
    "Cari perlindungan!"

    "Nyawa kita terancam!"
    Anak-anak sekolah itu gempar. Mereka bubar tunggang langgang menyelamatkan nyawanya. Aku tertegun memandang lapangan yang mendadak lengang. Bola voli warna putih tergeletak begitu saja di bawah net. Aku kecewa. Tak kusangka kedatanganku selalu membikin kacau. Kegembiraan mereka terpenggal.

    Padahal, aku hanya ingin menjalin persahabatan. Salahkah bila sebutir peluru bersahabat dengan anak-anak? Kusadari diriku hanyalah sebutir peluru yang makar terhadap serdadu. Harusnya aku mencabut nyawa, bukan keluyuran seperti ini. Diriku, kusadari telah melenceng dari tugas. Aku harus siap menerima risiko seburuk apapun.

    Kutinggalkan lapangan voli dengan wajah sendu. Kulirik anak-anak yang mengintip dari balik jendela kaca, dengan bibir bergerak mengucap doa keselamatan.

    "Sebutir peluru, jangan ganggu diriku," masih kudengar rintihan ketakutan seorang anak yang bersembunyi di balik bak sampah. Wajahnya disembunyikan di balik kedua telapak tangannya.

    "Aku tak akan mengganggumu lagi sayang," kataku sambil berdesing lembut di dekat telinganya. Sebenarnya ingin kubelai rambut itu. Tapi aku khawatir dia malah pingsan di bak sampah yang bau itu.

    Aku tergugu. Kedatanganku tak pernah disambut gembira. Sebutir peluru tidak bolehkan insyaf dengan masa lalu? Kusadari aku telah membuat negara ini meriang. Kekerasan demi kekerasan, akulah yang meramaikannya.

    Oh, hidupku hanya berkubang dengan debu-debu kesalahan. Kepada siapa aku mengadu kalau tak seorang pun berani mendekatiku? Semua tempat yang ramai mendadak sepi ketika aku lewat.

    "Awas sebutir peluru ada di atasmu!"
    "Ada kerusuhan!"

    Toko-toko langsung tutup. Anak-anak muda bersenjata pedang dan golok berbaris di pinggir jalan, bersiap-siap kalau aku membikin onar. Mereka memandangku dengan tatapan penuh kebencian. Entah siapa yang jadi provokatornya.

    "Cincang!"
    "Kita bakar sampai melepuh!"

    "Beri balasan setimpal. Tangkap dan lindaskan di atas rel kereta sampai lumat!"
    "Dialah pembunuh bapakmu!"

    Huh, mereka benar-benar hendak menuntut balas kepadaku. Mereka hendak beramai-ramai mengeroyokku. Kalau mau sih, aku masih mampu menembus tubuh mereka. Namun, aku sudah tidak bernafsu membunuh. Lebih baik aku menghindar.

    "Kejar!"
    "Bantai si pembunuh itu!"

    "Jangan biarkan dia berkeliaran!"
    Bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka kalau wajah-wajah itu susah diajak bicara. Wajah penuh dendam itu, Ya ampun, mereka terus mengejarku.

    Aku kian lemah. Aku tak bisa melesat kencang lagi. Jadi, dengan berlari kecil saja mereka bisa menyusulku dengan mudah. Jumlah mereka terus bertambah. Napasku tersengal.

    "Tidak adakah jalan kematian yang lebih indah selain dilindas lokomotif pertambangan?" tanyaku pedih.
    Orang-orang itu mengejarku kian dekat. Aku mendadak panik luar biasa. Beginikah rasanya mau mati? Aku melihat para serdadu yang berjejer-jejer.

    "Serdadu selamatkan aku!" pintaku memelas.
    Serdadu itu malah membuang muka.

    "Kau adalah sebutir peluru yang makar. Nikmati saja kematianmu!"
    Dari segala arah, orang-orang itu mengepungku. Sebuah jaring baja tiba-tiba mengurungku. Mereka bersorak girang.

    "Akhirnya kita bisa menangkap pembunuh berdarah dingin ini!"
    "Kita bawa ke rel tambang!"

    Tubuhku diseret ke ladang pembantaian untuk kemudian dibanting di atas rel alur lokomotif tambang. Sebuah kawat mencincangku. Sebentar lagi maut menjemput. Apakah pentingnya sebutir peluru? Sejarah tak pernah menyediakan catatan untuk makhuk sekecil aku.

     Dan sayup-sayup dari Celulerphone seorang serdadu yang sedang bercakap dari seberang pulau mereka, tentang Bom Buku yang menjadi trend baru di kota yang penuh aroma kematian setiap detik.

    Suara lokomotif penuh uranium menderu. Kematian sudah dekat. Aku hanya ingin memandang senja untuk terakhir kali. Sebuah keinginan yang sederhana. Senja yang kemerahan sebentar lagi akan kutinggalkan.

Comments

Popular Posts