III. 350 TAHUN INDONESIA TERJAJAH, MITOS ATAU FAKTA?


Indonesia - Historiography

Misalnya perjanjian dengan Sultan Siak pada 1889 yang menjadi syarat bagi penguasa kolonial untuk menguasai tambang timah. Begitu pula perjanjian dengan Sumatera Timur pada 1909 yang mengakui kebesaran raja setempat tapi di sisi lain mengubah daerah kekuasaannya menjadi sebuah cultuurgebied (daerah perkebunan) yang menghasilkan jutaan gulden setiap tahunnya untuk para pemilik perkebunan.

Dalam perjanjian itu disebutkan adanya platselijke raad atau semacam dewan pemerintahan, tapi kekuasaannya hanya sebatas “kedaulatan politik”, sementara urusan ekonomi dan eksploitasi, termasuk pengerahan tenaga kerja yang terkenal kejam, diserahkan sepenuhnya kepada pemilik perkebunan.

Begitu pula dengan Nota Colijn yang menjadi rujukannya untuk memahami “kedaulatan” wilayah-wilayah merdeka di bagian timur Nusantara. Dalam nota itu berulangkali ditekankan bahwa negeri-negeri yang “merdeka” berada di bawah kekuasaan kolonial.

Persoalan lain, Resink juga nampaknya mengabaikan gerakan protes dan perlawanan rakyat yang me luas sejak abad ke-19, sementara para penguasa feodal di masing-masing wilayah menikmati “kesetaraan” dengan penguasa kolonial.

Justru penaklukan kalangan elit dan perlawanan rakyat adalah ciri tanah jajahan di mana pun. Artinya, kemerdekaan tidak dapat diukur hanya dari sisi hukum, tapi harus melihat keseluruhan cara hidup masyarakat yang bersangkutan.

Studi Resink dan cara berpikirnya sangat dipengaruhi oleh keinginan “meluruskan sejarah” dari salah paham, baik di kalangan sarjana kolonial konservatif maupun gerakan nasionalis. Ia masuk dalam sebuah perdebatan panjang yang menariknya sampai pada kesimpulan sama dengan kepentingan yang bertolak belakang.

Sementara kaum konservatif mengklaim penjajahan selama 350 tahun sebagai pembenaran untuk melanjutkan kolonialisme, gerakan nasionalis mengklaim kurun yang sama sebagai dasar untuk membebaskan diri.

Di tahun 1950-an, saat Resink menulis esei-eseinya yang mahsyur itu, gerakan nasionalis sedang naik pasang. Komentarnya memang menimbulkan perdebatan kembali di kalangan nasionalis dan intelektual sezaman. Komentar dan kritiknya yang tajam terhadap salah paham kaum nasionalis atas sejarahnya sendiri menjadi catatan penting bahwa propaganda tidak bisa bertahan atas dasar-dasar yang rentan dan salah.

Sebaliknya perlu kita ingat bahwa Resink juga mengabaikan berbagai hal, termasuk hal-hal terpenting mengenai hubungan eksploitatif antara penguasa kolonial dan rakyat tanah jajahan.

Kesepakatan dan perjanjian dalam bahasa yang santun tidak dengan sendirinya mencerminkan “kesetaraan”. Sumatera Timur mungkin menjadi contoh yang menonjol, sementara berdaulat di bidang politik, eksploitasi menyebabkan ratusan ribu orang menderita sebagai kuli kontrak yang nyaris seperti budak.

Bagaimanapun, karya Resink memberi sumbangan berharga untuk menyadari bahwa kemerdekaan secara legal-formal dan kedaulatan hukum, tidak dengan sendirinya berarti pembebasan menyeluruh dari hubungan-hubungan yang menindas.

***

"Indonesia" adalah suatu nama yang dibuat oleh sejarawan untuk menggambarkan pulau-pulau kekuasaan Belanda. Ia adalah cara mudah untuk menyebut suatu kesatuan wilayah yang cuma punya satu kesamaan: mereka sama-sama dikuasai baik secara de facto maupun de jure sebagai wilayah Belanda.

Pada kenyataannya Aceh adalah suatu negara sendiri yang seandainya ada di Eropa mungkin sekelas dengan Belgia atau Serbia (kalau kita ingin membandingkan secara kontemporer). Pada kenyataanya Jawa adalah wilayah pengaruh Mataram dan kesultanan Surakarta.

Pada kenyataannya Maluku adalah Ternate dan Tidore. Pernyataan Indonesia, secara kultural, sama sekali tidak punya arti. Ia dibentuk setelah 1928, dan itu pun hanyalah gerakan elit intelektual pemuda yang mengatasnamakan dirinya sebagai "bangsa Indonesia".

Perang kemerdekaan memang menyatukan Indonesia, tapi bahkan pada masa itu pun "persatuan" ini kadang terasa aneh. Kalau memang bersatu, kenapa ada PRRI/Permesta, kenapa ada gerakan DI/NII, kenapa bahkan sampai 1965 masih ada pembersihan elemen-elemen yang kritis terhadap eksistensi Indonesia, yang berpuncak pada pembantaian paling tidak 6000000 orang sebagai "respon" atas fiksi "Gerakan 30 September"?

***

Mari kita lihat dunia, sebab ini pun punya banyak paralelnya dalam sejarah negara-bangsa (nation states) dunia. Deklarasi Kemerdekaan 1776 berarti kemerdekaan kulit putih di 13 koloni Amerika, sementara bagi suku-suku India seperti Apache atau Iroquois Deklarasi ini berarti pernyataan kedaulatan kolonis atas penduduk lokal, yang kemudian dibantai tanpa pandang bulu.

Deklarasi Kemerdekaan Australia 1901 berarti satu abad penindasan, mismanagemen, dan pencurian tanah dari penduduk asli Aborigin di sana. Deklarasi kemerdekaan Israel 1948 berarti hilangnya rumah penduduk Palestina Arab atas dasar pernyataan dari salah satu penguasa dunia, tertuang dalam Deklarasi Balfour 1917.

Berdirinya negara modern Turki pada 1918 didahului dengan genocide pertama di dunia, terhadap orang Armenia tahun 1915. Salah satu pemimpin genocide ini adalah Mustafa Kemal Pasha, presiden pertama Turki.

Orang tentu berhak bertanya, lalu apa arti nasionalisme? Apa artinya "satu bangsa, satu bahasa, satu budaya"? Apa artinya Sumpah Pemuda? Apa artinya "One Nation Under God"? Apa artinya "God Save the Queen"?

Bagi jutaan kaum minoritas di seluruh dunia, ia bukan berarti kemerdekaan dari penindasan, atau pernyataan perasaan bersatu. Ia adalah awal dari pembantaian, eksploitasi, dan marginalisasi.[CC]

*I-II-III; Perpaduan berbagai sumber sebagai catatan pengetahuan untuk kembali mendeskrispsikan dengan baik, bagus dan benar runutan sejarah Indonesia.

Comments

Popular Posts